Mengenal Sejarah Tentang Nyi Ageng Serang / Raden Ayu Serang
Raden Ayu Serang atau Nyai Ageng Serang adalah tokoh pahlawan nasional Indonesia wanita yang memiliki nama kecil Raden Ajeng Retno Kursiah Edi. Setelah menikah, namanya menjadi Bendara Raden Ayu Kustiyah Wulaningsih Retno Edi. Ia adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia. Di antara keturunannya, salah satunya juga seorang Pahlawan Nasional, yaitu Soewardi Soerjaningrat atau lebih dikenal sebagai Ki Hajar Dewantara.
Ageng Serang masih keturunan Sunan Kalijaga. Ayahnya adalah Pangeran Ronggo seda Jajar yang dijuluki Panembahan Senopati Notoprojo.
Nyi Ageng Serang lahir di desa Serang saat musim hujan. Di masa mudanya, ia menerima pelatihan militer dan sempat menjadi istri dari Sri Sultan Hamengkubuwana II. Setelah ayahnya wafat Nyi Ageng Serang menggantikan kedudukan ayahnya. Nyi Ageng Serang menikah dua kali, selain dengan Hamengkubuwana II yang kemudian berpisah, ia menikah dengan Pangeran Serang I (nama asli: Pangeran Mutia Kusumowijoyo). Di Serang, dia melahirkan seorang putra bernama Pangeran Kusumowijoyo atau Sumowijoyo (1794-1852), yang disebut sebagai Pangeran Serang II dalam sumber Belanda.
Didukung latar belakang keluarganya, Nyi Ageng Serang tumbuh menjadi seorang perempuan tangguh dan percaya pada keadilan. Pendidikan yang diberikan kepadanya tidak sebatas pembelajaran rumah tangga, melainkan juga seni bela diri dan strategi militer. Keterampilan ini membentuk karakternya yang pemberani dan mandiri, serta membekalinya dengan pengetahuan tentang taktik perang.
Pada awal Perang Diponegoro pada tahun 1825, Nyi Ageng Serang yang berusia 73 tahun memimpin pasukan dengan tandu untuk membantu Pangeran Diponegoro melawan Belanda. Tidak hanya turut berperang, ia juga menjadi penasihat perang. Nyi Ageng Serang berjuang di beberapa daerah, seperti Purwodadi, Demak, Semarang, Juwana, Kudus, dan Rembang.
Sejak awal berdirinya Keraton Yogyakarta, Nyi Ageng Serang memang berseberangan dengan kehadiran Belanda. Oleh karena itu, ketika terjadi Perang Diponegoro, Nyi Ageng Serang langsung bergabung dengan pasukan Pangeran Diponegoro dan menjadi salah seorang sesepuh serta panglima perang pasukan Diponegoro.
Nyi Ageng Serang mengikuti pelatihan kemiliteran dan siasat perang bersama dengan para prajurit pria. Menurut keyakinannya, selama ada penjajahan di bumi pertiwi, maka ia harus siap tempur untuk melawan para penjajah. Salah satu strategi perang paling terkenal darinya adalah penggunaan lumbu (daun talas hijau) untuk penyamaran.
Nyi Ageng Serang meninggal pada tahun 1828 di usia 76 tahun dan dimakamkan di Bukit Traju Mas, Padukuhan Beku, Kalurahan Banjarharjo, Kabupaten Kulon Progo. Pada tahun 1974, ia diangkat sebagai pahlawan nasional oleh Presiden Soeharto melalui Keputusan Presiden No. 084/TK/1974, tertanggal 13 Desember 1974. Namanya juga diangkat sebagai teladan perempuan nasional dalam pidato Hari Ibu Nasional pada tahun yang sama, karena integritas, nasionalisme, dan religiusitas yang ia tunjukkan sepanjang hidupnya.
Patung Nyi Ageng Serang dengan mengendarai seekor kuda membawa tombak yang ada di simpang lima (Proliman) Kota Wates, Kabupaten Kulonprogo justru banyak orang menyebutnya "patung kuda". Padahal dia dikenal sebagai tokoh/pahlawan nasional yang membantu perang Diponegoro di kawasan perbukitan Menoreh Kulonprogo.
Referensi :
https://news.detik.com/berita/d-3094156/patung-kuda-di-kulonprogo-dan-sosok-nyi-ageng-serang-yang-terlupakan
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Nyai_Ageng_Serang
Komentar
Posting Komentar